JEJAK LELUHUR DI KAKI SANG ARDI KUMUKUS
“……Rahina muwah ri tambak i rabut wyuha ri balanak linakwan alaris, anuju ri pandakan/ ri bhanaragin amgil i dateɳ nire padamayan, maluy anidul/ manulwan n umare jajawa ri suku saɳ hyan adri kumukus….”
Itulah sepenggal kalimat yang termuat dalam Kakawin Nagarakrtagama yang ditulis oleh pujangga terkenal zaman Majapahit bernama Pu Prapanca. Dikisahkan pada saat itu Raja Hayam Wuruk beserta rombongannya sedang melakukan perjalanan pulang setelah mengunjungi beberapa daerah bawahan Majapahit di wilayah Timur pulau Jawa. Siang hari perjalanan ditempuh dengan melewati Tambak, Rabut, Wayuha terus ke Belanak, menuju Pandakan, Banaragi, dan kemudian bermalam di Pandamayan. Setelah itu, Raja Hayam Wuruk Kembali ke selatan, lalu ke barat menuju Jejawar yang terletak di kaki gunung Ardi Kumukus (Gunung Welirang). Istilah Jejawar atau Jajawa kemudian oleh masyarakat luas dikenal sebagai Candi Jawi.
- Candi Jawi, Prigen. Dokumentasi pribadi Penulis.
Candi Jawi terletak di kaki Gunung Welirang, lebih tepatnya di Desa Candi Wates Kecamatan Prigen Kabupaten Pasuruan. Pendiri dari Candi Jawi adalah Raja Singhasari yang mahsyur yaitu Sri Kertanagara yang merupakan moyang dari Hayam Wuruk. Adapun fungsi dari Candi Jawi yaitu termasuk sebagai candi pendharmaan. Merujuk pada kakawin Negarakertagama pupuh 56, bahwa di candi tersebut (Candi Jawi) dijadikan sebagai makam dari Sri Kertanagara yang menganut agama Siwa-Buddha. Kedatangan Raja Hayam Wuruk ke Candi Jawi di perjalanan pulang ke Majapahit adalah untuk menghormati dan ziarah ke makam leluhurnya yang disemayamkan di Jajawi/Jawi. Diceritakan dalam kakawin Nagarakrtagama bahwa Raja Hayam Wuruk senang berziarah ke tempat suci, bermalam dalam candi, hormat mendekati Hyang arca suci serta khidmat berbakti sembah. Hingga menimbulkan iri dalam hati pengawas candi suci.
Pada komplek bangunan Candi Jawi terdapat tiga bagian bangunan. Memasuki komplek candi akan ada parit kecil menghampar di depan candi. Bangunan pertama sebelum menuju inti bangunan terdapat bekas susunan pondasi Candi Perwara (balai agung). Bagian tengah adalah inti dari bangunan yang berupa Candi Jawi yang ramping menjulang tinggi. Di sisi bangunan Candi Jawi terpahat relief-relief yang menggambarkan iring-iring an dengan menunggangi gajah dan kuda. Iring-iringan tersebut diduga akan mengunjungi sebuah tempat. Bagian belakang komplek bangunan Candi Jawi terdapat reruntuhan dari Gapura bentar yang berwarna merah. Sementara itu, dalam kakawin Nagarakrtagama, Pu Prapanca menuliskan keindahan Candi Jawi yang tiada ternilai seperti surga yang turun. Gapura, mekala, serta bangunannya serba permai. Di dalamnya terdapat hiasan nagapuspa yang sedang berbunga. Di sisinya terdapat lukisan puteri istana yang berseri-seri.
Candi Jawi dengan tinggi sekitar 24,5 meter Panjang 14,2 meter dan lebar 9,5 meter ini menyimpan keunikan tersendiri. Melalui Candi Jawi, tercermin kehidupan beragama yang saling berdampingan. Hal tersebut berkaitan dengan kehidupan beragama yang dianut oleh Sri Kertanagara. Pada masa Sri Kertanagara terjadi sinkretisme agama antara Hindu-Buddha. Perpaduan antara Hindu (yang disimbolkan dengan Siwa) dan Buddha kemudian membentuk aliran Siwa-Buddha. Perpaduan dua agama tersebut dapat dilihat pada bentuk bangunan Candi Jawi. Kaki Candi Jawi yang berbentuk Siwa dan pada puncak candi berbentuk Buddha. Pada puncak candi terdapat arca Maha Aksobhya yang melambangkan Buddha. Namun arca tersebut sudah hilang tersambar halilintar yang ditandai dengan tahun saka Api Memanah Hari (1253 S/1331 M). Mendapati hilangnya Arca dari tempatnya, Raja Hayam Wuruk teramat kecewa dan tercengang atas hilangnya Arca Maha Aksobhya.
Sejak berabad-abad lalu, Candi Jawi sebagai peninggalan leluhur masih kokoh berdiri mengiringi pergantian zaman demi zaman. Jika zaman dahulu wujud penghormatan Raja Hayam Wuruk terhadap moyangnya dilakukan dengan berziarah ke Candi Jawi. Lantas bagaimanakah peran kita sebagai generasi pewaris peradaban dalam rangka menghormati tinggalan leluhur tersebut?.
Salah satu peran sederhana namun berguna yang dapat kita lakukan adalah dengan tidak melakukan vandalisme. Vandalisme dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi kelima (2016) berarti perbuatan merusak atau menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lain (keindahan alam dan sebagainya). Dalam konteks situs sejarah seperti Candi Jawi tindakan vandalisme biasanya merujuk pada perbuatan mencoret-coret situs, menodai situs, atau tindakan lain yang dapat merusak situs sejarah. Tindakan vandalisme seperti yang tersebut di atas, meskipun tampak remeh dan sepele namun mempunyai dampak yang besar serta merugikan. Mencoret ataupun menodai candi selain merusak pemandangan juga dapat menghancurkan batuan penyusun candi. Pembersihan candi dari noda yang mengharuskan menggunakan bahan kimia dapat mengikis tekstur candi. Karena bahan bebatuan candi sangat rentan terhadap bahan-bahan kimia. Dalam penerapannya, menghindari vandalisme tidak hanya pada situs Candi Jawi saja. Melainkan pada situs-situs sejarah lain yang merupakan tinggalan dari para pendahulu. Ibarat menanam sebuah pohon, upaya menjaga dan merawat dengan baik adalah tindakan yang berguna bagi penerus peradaban selanjutnya.
Daftar Rujukan
Riana, I Ketut. 2009. Kakawin Desa Warnana Utawi Nagara Krtagama Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
ooh.. jadi candi Jawi itu peninggalannya raja Hayam wuruk yaa. hmm, baru tahu
Bukan Hayam Wuruk nya kak, tapi leluhurnya yg bernama Sri Krtanegara😊💚
candi ini cuma sepetak kan ya? kerajaannya dimana ya?
Mantap PYF. Apresiasi yang tinggi untuk penulis dalam mengangkat tema pengetahuan sejarah.
Kritik : karena memuat kutipan-kutipan naskah, sebaiknya tulisan ini menyertakan sitasi / pustaka agar dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.
Terimakasih kak ..🙏😊
Kuyy ditunggu tulisan selanjutnya
Mantap gerak cepat. Semoga dalam waktu dekat ada lebih banyak lagi tulisan-tulisan semacam ini yang dipublikasikan oleh PYF.
Ndewo cak
Kereeeeeen mba 🙂