Stop racism concept. Unrecognizable white person holds sign with text against racist.

MENGAPA KITA PUNYA KECENDERUNGAN MELAKUKAN DISKRIMINASI?

Sejarah diskriminasi di Indonesia sudah cukup panjang, Kejadian terakhir yang penuh dengan sorotan dan perbincangan adalah adanya persekusi terhadap mahasiswa Papua yang ada di Surabaya tahun 2019. Kejadian tersebut dipicu sebuah isu yang kemudian memanas menjadi tindakan diskriminasi. Fenomena ini membuktikan bahwa masyarakat, tanpa terkecuali kita sebagai anak muda sangat rentan terprovokasi untuk melakukan diskriminasi karena kita memiliki kecenderungan diskriminasi itu sendiri.


Darimanakah kita memiliki kecenderungan untuk melakukan diskriminasi?


Pada riset yang dilakukan Naizi Xiao, Kang Lee, dan Oliver Pascalis pada tahun 2017 dengan judul ”Older But Not Younger Infants Associate Own-Race Faces With Happy Music And Other-Race Faces With Sad Music”, ditemukan bahwa kecenderungan bersikap diskriminasi sudah ada sejak kecil. Periset menemukan sejak kecil anak memandang wajah dari rasnya dengan diiringi musik bahagia dan ras lain diiringi musik sedih. Pola respon tersebut timbul dari psikologi dasar untuk mendekati hal-hal yang nampak akrab, serta menghindari segala hal yang nampak asing. Intinya kecenderungan diskriminasi bukan disebabkan oleh faktor keturunan atau genetik, melainkan disebabkan kebiasaan.


Selanjutnya, jika mengacu pada pemikiran Pierre Bourdieu, disebut sebagai habitus atau kebiasaan yang merbentuk suatu tatanan sosial. Disini produksi seperti asumsi dan pola pikir akan diproduksi dengan waktu yang sangat panjang yang tidak diketahui ujungnya, karena diproduksi sejak dilahirkan dan secara terus menerus diwariskan ke generasi selanjutnya. Kaitannya dengan diskriminasi seseorang dipaksakan berada diranah tertentu yang mengharuskan mereka saling berbaur. Disini akan memunculkan doxa (kepercayaan yang tak sadar) dimana biasanya menempatkan pihak yang dominan lebih istimewa.


Kebiasaan tersebut membentuk sebuah asosiasi pikiran fanatisme bahwa seseorang yang memiliki kesamaan fisik, etnis, dan golongan dengan kita adalah orang-orang yang baik, dapat dipercaya dan kita merasa aman dengan mereka, Sebaliknya jika bertemu dengan seseorang yang berseberangan dengan fisik, etnis, dan golongan kita, maka akan muncul prasangka buruk dan merasa tidak aman dengan mereka.


Apa buktinya kalau kebiasaan membentuk sebuah asosiasi pikiran fanatisme?


Berdasarkan survei yang berjudul “Survei Penilain Masyarakat Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di 34 Provinsi” oleh KOMNAS HAM dan Tim LITBANG KOMPAS tahun 2018. Ditemukan bahwa sebanyak (81,9%) responden mengatakan lebih nyaman hidup dalam keturunan keluarga yang sama. Kemudian, sebanyak (82,7%) mengatakan bahwa merasa lebih nyaman hidup dalam lingkungan ras yang sama. Selanjutnya sebanyak (83,1%) mengatakan lebih nyaman dengan kelompok etnis yang sama.


Lalu, bagaimana cara mengurangi kecenderungan diskriminasi pada diri kita?


Salah satu cara mudah untuk mengurangi kecenderungan diskriminasi yang ada pada diri kita adalah dengan banyak bergaul, hal ini akan membantu kita untuk mematahkan fanatisme yang telah dibuat oleh asosiasi pikiran. Banyak bergaul terutama dengan seseorang yang punya latar belakang bersebrangan akan memulihkan kepercayaan dan rasa aman kita kepada mereka, pada akhirnya kecenderungan diskriminasi pada diri kita akan luntur secara perlahan.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *