gunung arjuno
|

NAPAK TILAS SITUS NEO-MEGALITIK DI LERENG GUNUNG ARJUNA

Situs Gua Antabuga (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Gunung Arjuna dengan ketinggian 3.339 mdpl merupakan gunung berapi istirahat yang berdiri di tiga wilayah administratif yaitu Kabupaten Malang, Kabupaten Batu, dan Kabupaten Pasuruan. Selain menampilkan keindahan alam dan keeksotisan pemandangan dari puncaknya, Gunung Arjuna juga menyimpan nilai sejarah yang tidak kalah menarik untuk diketahui.

Menurut kepercayaan Animisme-Dinamisme, gunung diyakini memiliki daya magis tertentu karena dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur yang sudah meninggal. Sehingga ketika melakukan ritual keagamaan, tidak jarang dikorelasikan dengan keberadaan gunung-gunung. Dalam konsepsi agama Hindu, gunung dianggap sebagai tempat yang suci karena digunakan untuk tempat persemayaman para dewa. Dalam Kakawin Tantu Panggelaran yang dikarang oleh Pu Kutritusan tahun 1635 M dijelaskan bahwa Bhatara Guru dan Bhatari Uma menyucikan gugusan pegunungan di Jawa sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Gunung Mahameru. Gunung yang pertama disucikan adalah Sang Hyang Mahameru (Gunung Semeru), Sang Hyang Brahma (Gunung Bromo), Sang Hyang Harjuno (Gunung Arjuno), Sang Hyang Pawitra (Gunung Penanggungan), Sang Hyang Kawi, Sang Hyang Kampud (Gunung Kelud),

keberadaan Gunung-gunung yang disucikan ( Holy Mountain) tidak lepas dari berkembangnya peradaban Hindu-Buddha di sekitar lereng gunung. Secara geografis lereng gunung adalah daerah patahan yang menyimpan banyak sumber mata air dan kandungan tanah yang subur sehingga cocok dijadikan tempat . Berdasarkan fakta lokasi, sebagian besar kerajaan di pulau Jawa berada di daerah cekungan pegunungan atau lereng/cekungan antar gunung. Seperti contoh Mataram yang terletak di lereng selatan Gunung Merapi, Kerajaan Kediri di lereng Gunung Kelud, Kerajaan Majapahit di lereng Gunung Arjuna (Prasetya, 2018:3). Daldjoeni (2019), juga menjelaskan bahwa sekitar 25 km ke arah selatan dari pusat Kerajaan Majapahit terbentang gugusan pegunungan Arjuna-Anjasmara-Welirang. Maka tidak mengherankan, jika kemudian di lereng gunung ditemui beberapa peninggalan situs sejarah.

Situs Neo-Megalitik di lereng Gunung Arjuna diperkirakan berasal dari masa akhir Kerajaan Majapahit abad 14 – 15 M. Kondisi politik Kerajaan Majapahit yang tidak stabil dan kemerosotan kekuasaan kaum agamawan Hindu-Buddha memberikan kesempatan bagi berkembangnya kembali agama penduduk asli seperti pemujaan kepada roh nenek moyang dan pemuaan gunung. Dalam ritual pemujaan kepercayaan tersebut media yang digunakan adalah bangunan-bangunan Neo-Megalitik. Neo-Megalitik diartikan sebagai bentuk Kebudayaan Megalitik dalam nuansa dan zaman yang baru. Hasil Kebudayaan Megalitik dapat berupa punden berundak, menhir, sarkofagus, dolmen, dan bentuk bangunan batu besar lainnya. Selain itu hasil Kebudayaan Megalitik juga berupa kepercayaan religius, yaitu adanya kepercayaan pemujaan terhadap roh nenek moyang.

Merujuk pada tulisan Marsudi (2015) yang berjudul Bangkitnya Tradisi Neo-Megalitik di Gunung Arjuna, terdapat 10 situs sebagai jejak peninggalan Neo-Megalitik di lereng Gunung Arjuna. Adapun situs-situs tersebut adalah sebagai berikut:

1. Situs Gua Antabuga (Ontobugo)

Situs Gua Antabuga berupa ceruk kecil di dinding bukit batu yang oleh masyarakat disebut dengan Gua. Situs Gua Antabuga berada di ketinggian 1.300 mdpl yang merupakan Pos I pendakian Arjuna jalur Tambak Watu (Jalur pendakian Puwosari). Lebar gua sekitar 1 m, kedalaman 1,5 m dan tinggi antara lantai dan langit sekitar 1,5 m. Di dalam gua terdapat sebuah batu altar tempat meletakkan sesaji. Dalam pewayangan, nama Antabuga identik dengan Dewa yang berasal dari kalangan Naga yang menjaga lapisan bumi ketujuh ( Saptapratala ).

2. Situs Watu Kursi

Situs Watu Kursi berada di ketinggian 1.330 mdpl. Bentuk dari situs ini adalah bongkahan batu andesit yang menyerupai bentuk kursi. Pada bagian atas, permukaan batu tampak datar menyerupai altar monolith tempat bersemayamnya roh nenek moyang. Dalam konsepsi Hindu, altar tersebut digunakan sebagai tempat arca perwujudan dewa.

3. Situs Batik Madrim

Situs Batik Madrim berada di ketinggian 1.350 mdpl. Situs Batik Madrim berupa punden berundak dari batu andesit dengan susunan tiga bagian halaman. Bagian pertama memiliki lebar 11 m dan lebar 9,92 m. Bagian kedua memiliki panjang 8,42 m dan lebar 6,80 m. Sedangkan teras bagian puncak memiliki panjang 8,42 m dan lebar 2,7 m serta 13 anak tangga yang menjadi penghubung teras kedua dan ketiga.Pada bagian atas punden terdapat balok-balok persegi yang berjumlah 12 yang diposisikan berdiri seperti bentuk menhir (batu yang didirikan tegak berfungsi sebagai medium penghormatan bagi orang yang sudah meninggal).

4. Situs Rahtawu

Situs Rahtawu atau Tampuono merupakan Pos II yang berada di ketinggian 1,375 mdpl. Pada kompleks situs Rahtawu terdapat beberapa peninggalan Neo-Megalitik seperti Situs Eyang Sekutrem (berrupa 6 buah batu yang diletakkan berjajar di atas altar), Situs Abiyasa (berupa batu altar yang oleh masyarakat sering disebut makam Abiyasa), Arca Dwarapala berbahan batu andesit, dan Sendang Dewi Kunti (fungsi sebagai petirtaan).

5. Situs Putuk Lesung

Situs Putuk Lesung berada di ketinggian 1.700 mdpl. Posisinya berada di punggung Gunung Arjuna yang sejajar dengan Situs Batik Madrim. Situs Putuk Lesung berupa tatanan batu persegi menyerupai lantai dengan ukuran panjang 4 m dan lebar 3 m. Pada susunan batu lantai, terdapat sebuah lesung batu dengan panjang 175 m, lebar 73 m, tebal 9 cm, dan kedalaman 35 cm. Adapun fungsi dari lesung digunakan untuk menampung air yang menjadi bagian dari kepercayaan Neo-Megalitik.

6. Situs Eyang Sakri

Situs Eyang Sakri merupakan Pos III pendakian Gunung Arjuna. Bentuk dari situs ini adalah batu yang disusun membentuk altar. Di atas altar tersebut terdapat tempat dupa (pedupaan) dan diletakkan 16 batu andesit yang diposisikan berdiri berjajar.

7. Situs Eyang Semar

Situs Eyang Semar berada di ketinggian 1.850 mdpl. Tinggalan arkeologis pada situs ini berupa arca yang berbentuk menyerupai bentuk fisik tokoh pewayangan Semar. Ciri fisik arca yaitu rambut kuncung seperti sanggul, mata terbelalak, alis tebal, mulut menyeringai, tangan kanan di depan perut buncit sementara tangan kiri memegang senjata. Arca semar berukuran tinggi 140 cm dan lebar 50 cm.

8. Situs Candi Wesi

Situs Candi Wesi berada di ketinggian 2.100 mdpl. Posisi nya terletak di punggung Gunung Arjuna yang sejajar dengan Situs Batik Madrim dan Putuk Lesung. Bentuk dari situs Candi Wesi adalah bangunan Punden Berundak dengan panjang 20 m dan lebar 15 m. Terdapat dua komponen punden yaitu punden utama dan punden pendamping di sisi selatan dan utara.

9. Situs Makuthorama

Situs Makuthorama berada di ketinggian 2.000 mdpl. Bentuk bangunan pada situs ini adalah punden berundak dengan empat teras yang panjang 20 m dan lebar 15 m. Bangunan utama pada situs Makutharama memiliki luas 3,10 m x 3,30 m dengan susunan dua teras dan altar pada bagian puncaknya. Pada puncak punden, terdapat dua batu lempeng posisi tegak dengan tinggi 38 cm. Selain bangunan punden, pada situs ini juga terdapat beberapa arca Dwarapala terbuat dari batu andesit yang tersebar di sekitar teras punden. Bentuk arca Dwarapala dicirikan dengan bentuk rambut dikonde, tangan kanan memegang gada dan tangan kiri di depan perut.

10. Situs Sepilar

Situs Sepilar berada di ketinggian 2.150 mdpl. Sebelum menuju bangunan utama, terdapat ratusan anak tangga yang terbuat dari batu andesit. Di samping kiri dan kanan tangga terdapat arca Dwarapala sebanyak 21 dalam posisi duduk bersimpuh. Ciri fisik dari arca Dwarapala yaitu kuncung di kepala, hidung agak mancung, telinga lebar, mulut menyeringai dengan gigi bertaring, perut buncit, tangan kanan memegang gada, serta badan tanpa penutup. Bangunan situs Sepilar berupa punden berundak yang terdiri dari beberapa teras. Pada bagian puncak terdapat tiga pilar yang terbuat dari batu andesit dengan ukuran panjang 130 cm, lebar 60 cm, dan tinggi 2.400 cm. Pada bagian tengah pilar terdapat lubang, sehingga tampak seperti pintu.

Banyaknya temuan peninggalan arkeologis di sekitar lereng Gunung Arjuna, secara tidak langsung memberikan amanat kepada kita untuk tidak nyanyil atau bahkan melakukan vandalism (perusakan) di sekitar situs-situs. Tugas kita adalah senantiasa menjaga dan merawat dengan bijak. Agar peninggalan yang masih ada saat ini tetap lestari hingga beralih generasi berikutnya.

Daftar Rujukan

Dajdjoeni, N. 2019. Geografi Kesejarahan Indonesia II. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Marsudi. 2015. Bangkitnya Tradisi Neo-Megalitik di Gunung Arjuna. Jurnal Sejarah dan Budaya, Vol 9 (1). Malang: Fakultas Ilmu Sosial UM. (http://journal.um.ac.id)

Prasetya, S.P. 2018. Telaah Integratif Geografi Kesejarahan. (scholar.google.com)

Similar Posts

2 Comments

    1. Iya kak, dilindungi karena termasuk situs purbakala..
      Masuk di tiga wilayah administratif, kalau di wilayah pasuruan bisa lewat jalur pendakian purwosari dan prigen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *