sholawat-dintanching-tuntut-penundaan-pilkada-antarafoto_ratio-16x9

Pilkada 2020, Kepentingan Siapa?

sholawat-dintanching-tuntut-penundaan-pilkada-antarafoto_ratio-16x9
Pengunjuk rasa memainkan rebana dan bersholawat saat aksi menuntut penundaan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di depan gedung KPU Kediri, Jawa Timur, Kamis (24/9/2020). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/aww. Baca selengkapnya di artikel “Desakan Tunda Pilkada di Tengah Corona: Tak Ada Suara Seharga Nyawa”, https://tirto.id/f5gi

Pesta demokrasi Indonesia kembali digelar tahun ini, namun yang membuat tahun ini berbeda adalah adanya pandemi Covid-19 yang menjadi momok bagi masyarakat seluruh dunia. Beberapa negara bahkan menunda Pilkada karena hal ini, sebut saja Selandia baru, Korea selatan, Hongkong, Bolivia dan tetangga kita, Singapura. Beberapa negara tersebut tercatat sebagai negara dengan penanganan terhadap pandemi yang baik. Lalu, kenapa Indonesia ngotot? Padahal belum ada tanda-tanda pandemi akan mereda, bahkan berita terakhir peningkatan penderita Covid-19 konstan di angka 4.000. hey, 4000 bukan angka yang sedikit.

Hal yang menarik dari Pilkada tahun ini juga dari pesertanya, diketahui dari 270 daerah lebih dari 200 diantaranya merupakan petahana. Mengutip pernyataan Djohermansyah Djohan, seorang pakar otonomi daerah, boleh jadi para petahana tersebut yakin lebih mudah memenangkan pilkada di masa seperti sekarang ini sehingga mereka tidak ingin berlama-lama menunda pilkada. Dilihat dari faktor kesehatan pun tidak ada argument yang dapat mendukung pilkada tetap diadakan. Lalu sebenarnya pilkada ini kepentingan siapa? Jika factor kesehatan sebagai hal yang benar-benar menjadi concern saja diabaikan

Deklarasi untuk tidak memilih alias golput datang dari intelektual Islam sekaligus guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra. Pilihannya untuk golput sebagai bentuk solidaritas kepada para korban Corona dan tenaga kesehatan yang berada di garis terdepan. Klaster pilkada pun di depan mata.

Tokoh politik Indonesia, sekaligus mantan wakil Presiden Indonesia, Pak JK menulis dalam opini berjudul Pilihan Menyelamatkan Rakyat di Kompas, Senin lalu mengenai penurunan jumlah pemilih pada Pemilihan kepala daerah di beberapa negara. Ia mengambil contoh Queensland, Australia, yang menyelenggarakan pemilu pada 28 Maret lalu. Jumlah pemilih turun dari 83 persen menjadi 77,3 persen. “Di Australia, memilih itu sifatnya wajib dan bagi yang tidak melakukannya akan diberi sanksi denda. Orang Australia lebih memilih kena denda daripada terinfeksi COVID-19,” tulis JK. Pemilihan lokal di Perancis pada Maret lalu juga demikian, kata JK. Jumlah pemilih hanya 44,7 persen dari sebelumnya 63 persen. Contoh lain, “di awal penyebaran COVID-19, diselenggarakan pemilu di Iran, jumlah pemilih hanya 40 persen, terendah sejak Revolusi Iran tahun 1979.”

Kembali ke judul sekaligus pertanyaan saya sebagai rakyat Indonesia. Saya tidak keberatan apabila pilkada ini ditunda, mungkin banyak tenaga kesehatan maupun masyarakat yang sepaham dengan saya. Lalu pilkada ini untuk siapa sebenarnya?. Sebagai penutup dari saya, baik mencoblos maupun golput adalah pilihan tapi bagi saya tidak ada suara yang setara dengan nyawa.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *