TEKNOLOGI PEREKAMAN PERISTIWA GERHANA ZAMAN KUNO Di CANDI BELAHAN
Gerhana merupakan fenomena alam terjadinya peristiwa sejajar antara matahari, bulan, dan bumi. Gerhana dapat dikatakan sebagai siklus yang langka dan jarang terjadi. Tentu, di zaman yang serba canggih dengan teknologi digital mudah saja mengabadikan momen langka seperti peristiwa gerhana agar dapat dijadikan kenangan untuk anak-cucu kelak. Berbekal kamera handphone untuk merekam gambar dipadukan dengan sentuhan media sosial untuk publikasi, perekaman peristiwa penting tentu bukan perkara yang sulit.
Jika kita kembali ke 10 abad lalu ketika teknologi kamera ataupun handphone belum ditemukan. Bagaimana orang-orang dahulu merekam sebuah peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi?
(Foto oleh Shofwatul Q pada 17/01/2021)
SENGAKALAN CANDRA SINAHUT KALA
Para ahli mengidentifikasi pahatan relief pada batu pipih tersebut adalah jenis candrasengkala. Meminjam istilah dari Sudadi dalam bukunya Sengkalan Angka Tahun di Balik Ungkapan Jawa (2017) menjelaskan Kronogram/Sengkalan merupakan cara unik menyembunyikan angka tahun di balik sebuah uangkapan. Orang Jawa menyebut istilah kronogram dengan nama Sengkalan atau Candrasengkala. Sengkalan digunakan untuk mengingat kejadian-kejadian atau peristiwa yang bersejarah. Peringatan tersebut dapat berupa kematian, perayaan, peresmian Gedung atau monument/bangunan bersejarah, berdirinya lembaga atau organisasi, dan lain sebagainya. Salah satu sengkalan yang paling terkenal adalah Sirna Ilang Kertaning Bumi yang menunjukkan angka tahun 1400 S atau 1478 M. Sengkalan biasanya dituliskan pada gapura, dinding, atau lainnya. Selain dalam bentuk tulisan, sengkalan juga dapat berupa dekorasi tiga dimensi (berupa patung atau relief) atau dua dimensi (gambar). Sengkalan dalam bentuk gambar atau relief disebut dengan sengkalan memet (Kronogram Rumit).
Para ahli sejarah menafsirkan relief tersebut menampakkan wujud Dewa Kala (Bhatara Kala) dalam bentuk Kepala dengan gigi bertaring dan kedua tangan yang tengah mencengkeram bulatan berlubang. Di bawah bulatan tersebut terdapat dua sosok makhluk kahyangan yaitu Dewa Surya (Dewa Matahari) dan Dewi Candra (Dewi Bulan). Melalui visualisasi tersebut, ditafsirkan sebuah ungkapan Candra Sinahut Kala (Bulan digigit Kala). Pembacaan sengkalan tersebut dilakukan dengan mencari ungkapan yang tersimpan pada visualisasi dekoratif. Setiap ungkapan kata dalam kronogram atau sengkalan mewakili satu angka.
Kata Candra memiliki angka 1, Sinahut memiliki angka 3 dan Kala memiliki angka 9. Pembacaan tahun sengkalan dilakukan dengan cara terbalik, sehingga dari ungkapan Candra Sinahut Kala ditemukan angka 931 Saka. Jika dikonversikan ke dalam sistem penanggalan Masehi memiliki angka tahun 1009 M. Adapun peristiwa yang terjadi pada tahun 1009 M yaitu siklus Gerhana Bulan yang terjadi di Jawa. Zain Wahyudi (2018) menjelaskan jika Gerhana bulan yang terjadi pada tahun 1009 M merupakan gerhana bulan total yang terjadi tanggal 7 Oktober yang puncak gerhana nya terjadi pada saat terbenamnya bulan dan terbitnya matahari. Keberadaan prasasti yang berisi sengkalan “Candra Sinahut Kala” menandai terjadinya peristiwa Gerhana Bulan yang kemudian oleh masyarakat diabadikan dalam bentuk relief berupa Candrasengkala.
CERITA MITOLOGI PERISTIWA GERHANA
Melalui Candrasengkala yang ada di Candi Belahan, menunjukkan bahwa masyarakat zaman dahulu telah mengenal fenomena gerhana. Namun, konsepsi yang diusung tentang fenomena gerhana tentu berbeda dengan masa kini. Orang-orang terdahulu (mbah-mbah kita) sering mengungkapkan bahwa gerhana bulan (Graono) adalah peristiwa di mana Bathara Kala memakan Dewi Candra. Bathara Kala sering diibaratkan sebagai raksasa yang mengerikan. Dari keyakikan tersebut, kemudian timbul tradisi-tradisi unik yang menyertai peristiwa gerhana bulan seperti tradisi memukul lesung saat terjadi gerhana. Dalam cerita mitologi, peristiwa gerhana berasal dari cerita Bathara Kala yang hendak memakan Dewa Candra (Bulan).
Dalam kitab Adiparwa, diceritakan tentang peristiwa pengadukan samudera yang dilakukan oleh para dewa dan raksasa untuk mendapatkan tirtha amertha (air keabadian). Dalam perebutan tersebut, ternyata yang mendapat tirtha amertha adalah golongan raksasa. Namun, karena tidak ingin tirtha amertha tersebut jatuh ke tangan yang salah. Para dewa membuat siasat untuk merebut Kembali tirtha amertha dari golongan raksasa. Dewa Wisnu kemudian mengubah wujud menjadi perempuan yang cantik jelita untuk mengecoh para raksasa. Dewa Wisnu menggunakan senjata cakranya untuk melawan para raksasa hingga akhirnya menang dan mendapatkan tirtha amertha kembali.
Dewa Wisnu bersama dewa lainnya pun pergi ke Wisnuloka untuk menenggak tirtha amertha. Ketika para dewa sudah meminum tirtha amertha mereka menjadi abadi. Namun, di tengah-tengah para dewa ternyata ada penyusup dari golongan raksasa yang telah mengubah wujudnya menjadi dewa. Berkat laporan dari Dewa Aditya dan Dewa Candra, Dewa Wisnu pun akhirnya mengeluarkan senjata cakranya untuk memenggal kepala raksasa tersebut. Karena terlanjur menenggak tirtha amertha yang masih sampai di tenggorokan, maka raksasa tidak sepenuhnya mati. Dari bagian tubuhnya, hanya bagian kepala saja yang masih hidup.
Oleh karena itu raksasa atau kala biasanya identik dengan visualisasi berupa kepala tanpa badan dengan gigi bertaring. Kala yang masih menyimpan dendam kepada Dewa Aditya dan Candra berujar jika dalam setiap kesempatan akan memakan Dewa Aditya dan Dewa Candra. Kala yang memakan Dewa Aditya (perwujudan matahari) dan Dewa Candra (perwujudan bulan) dianggap sebagai cerita mitologi dari peristiwa gerhana bulan dan gerhana matahari.
DAFTAR RUJUKAN
Munandar, A.A. 2011. Patirthan di Pawitra: Jalatunda dan Belahan. Majalah Arkeologi Indonesia.
Rahadhian & Wibawa. 2015. Kajian Arsitektur Percandian Petirtaan di Jawa (Identifikasi). Bandung: Universitas Katolik Parahyangan.
Sudadi. 2018. Sengkalan Angka Tahun di Balik Ungkapan Jawa . Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.